Mungkin bukan sebuah rahasia lagi apabila ganja adalah hal yang legal di Amsterdam, Belanda. Ganja sudah menjadi daya tarik wisata Amsterdam tersendiri.
Daerah yang disebut Red Light District, aroma ganja yang tajam tercium di mana-mana. Saking tajam, mudah sekali untuk mengenali wanginya.
Ganja yang dilegalkan sejak 1970-an ini, kini aturannya semakin dipersempit atau diperketat. Dari banyaknya konsumsi hingga tempat untuk konsumsinya.
Kota tersebut mempertimbangkan larangan turis yang kongko di ‘Coffee Shop’ dengan menjual ganja untuk perekonomian penduduk lokal.
Survei terhadap turis yang mengunjungi Red Light District, dengan sampel sebanyak 1.100 turis dan umur antara 18 hingga 35 tahun menjadi jawaban atas pertimbangan Amsterdam terhadap peraturan-peraturan ganja di sana.
Sebanyak 57% responden mengungkapkan bahwa mereka mengunjungi Amsterdam karena kedai kopi ganjanya di sana. Lalu, sebanyak 34% dari mereka memilih untuk memikirkan kembali untuk datang ke kedai kopi ganja.
Sementara, 11% berkata mereka memilih untuk tidak datang kembali ke sana. Survei tersebut dilakukan pada Agustus tahun 2019.
Pemerintah Amsterdam sedang mengatur turis yang datang membludak beberapa tahun kebelakang. Ini adalah langkah untuk menghindari adanya turis yang berperilaku buruk.
Sebelum diadakannya survei, Walikota Gemke Halsema mengirim surat pada anggota dewan tentang saran yang berisikan untuk kedai kopi ganja agar bisa memiliki nilai ‘kualitas hidup di pusat kota berada dalam bawah tekanan’.
Tata tertib kedai
Mulai pada 1 April 2020, aturan tur kelompok yang diadakan di Red Light District diberlakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah kelompok wisata melewati toko-toko seks, tidak melakukan tur diatas pukul 22.00 malam, dan memakan waktu lama di tempat-tempat jembatan sempit atau jalan baru.
Jika ada pemandu wisata yang melanggar aturan, akan dikenakan denda sebesar 190 Euro, atau setara dengan Rp2,8 juta.
Dalam survei yang sudah dilakukan, di dalamnya meminta pendapat para turis terhadap kemungkinan untuk membayar tiket masuk ke Red Light District.
Hasilnya, 32% berkata untuk tidak akan datang, dan 44%-nya berkata mereka akan jarang mengunjunginya.
Dibanding Red Light District, wisata ke kedai kopi menjadi yang lebih kuat dalam hasil survei pada turis tersebut.
1% memilih datang kesana karena prostitusinya.
72% mengunjungi kedai kopi ganja pada saat kunjungan bisnisnya di Amsterdam.
Dampak buruk yang terlihat langsung oleh Jurnalis Isabelle Gerretsen dari overtourism di kotanya.
“Dapat dimengerti bahwa penduduk Amsterdam ingin melestarikan pusat bersejarahnya yang indah dan menjalani kehidupan hariannya tanpa terus dihadang oleh turis yang meribut,” ucapnya, dikutip dari CNN Travel, Rabu (19/2).
Ia juga berujar bahwa pembatasan terhadap wisata ganja ini adalah hal yang baru dari sejumlah tindakan yang dilakukan untuk mempertahankan kota berstatus pusat budaya dibandingkan taman hiburan.
Namun, ia juga berpendapat bahwa hal ini yang paling berisiko dibanding tindakan-tindakan lainnya.
“Karena Amsterdam dikenal di seluru dunia karena kebijakan tolerannya terhadap obat terlarang. Ini dapat menyebabkan penurunan jumlah turis,” ucapnya.
Bingungnya, membeli ganja di kedai kopi ganja menjadi hal yang sah, tetapi untuk memproduksi ganja menjadi kegiatan yang ilegal.
Dalam survei wisata ke Amsterdam, alasan umum turis untuk mengunjungi kota tersebut adalah bersepeda atau berjalan kaki mengitari kota.
SUMBER: CNN