Kriminal

Tuntutan 8,5 dan 8 Tahun Penjara untuk 2 Pengusaha Penyuap Hakim Agung

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto, kedua pengusaha yang didakwa sebagai penyuap hakim agung, dengan hukuman penjara masing-masing selama 8,5 tahun dan 8 tahun. Tuntutan ini disampaikan dalam sidang yang digelar pada Rabu (7/6/2023) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung.

Surat tuntutan yang diterima media dari Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri menyatakan bahwa Jaksa Yoga Pratomo meminta Majelis Hakim untuk menemukan kedua pengusaha tersebut bersalah karena telah menyuap hakim agung dalam perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Kedua pihak didakwa telah membayar sejumlah dana kepada hakim agung Sudrajad Dimyati dan beberapa pihak lainnya di Mahkamah Agung (MA) senilai 200.000 dolar Singapura.

Yoga Pratomo juga meminta hakim menjatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp 750.000.000 kepada kedua terdakwa. Jika denda tersebut tidak dibayarkan, maka hukuman mereka akan ditambah dengan waktu penjara selama enam bulan.

Selain Sudrajad Dimyati, Tanaka dan Ivan juga didakwa menyuap Hakim Agung Takdir Rahmadi dan pihak-pihak lain dengan uang sebesar 202.000 dolar Singapura. Takdir Rahmadi merupakan anggota majelis yang menyidangkan Peninjauan Kembali (PK) perkara perdata KSP Intidana.

Jaksa KPK menilai, keseluruhan persidangan telah membuktikan keberadaan suap yang diberikan oleh Tanaka dan Ivan kepada beberapa hakim agung dan pihak lain dalam perkara KSP Intidana. Adapun suap yang diberikan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengadilan dan hasil putusan perkara tersebut.

Perkara ini sebelumnya terungkap setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 22 September lalu mengejutkan publik. Sejumlah pegawai, hakim yustisial, dan pengacara dari kedua pengusaha itu terjaring dalam OTT tersebut. Hingga saat ini, ada 17 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, termasuk Sekretaris MA Hasbi Hasan dan eks Komisaris Independen PT Wika Beton, Dadan Tri Yudianto.

Kasus suap ini telah mencoreng citra pengadilan di Indonesia, mengingat keterlibatan beberapa pejabat tinggi dan hakim agung dalam jaringan suap tersebut. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan serta memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri terus berupaya mengejar pelaku-pelaku korupsi dan membongkar praktik suap yang merajalela di berbagai lini pemerintahan dan pengadilan. Upaya KPK diharapkan dapat memberantas korupsi di Indonesia dan menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan.

Selain itu, pemberian hukuman yang tegas kepada para terdakwa dalam kasus suap ini diharapkan dapat menjadi peringatan bagi siapa pun yang berusaha melakukan praktik korupsi. Di samping hukuman penjara dan denda, penegak hukum juga perlu mengambil tindakan lebih lanjut berupa pemulihan aset dan kekayaan hasil korupsi.

Dalam mengatasi korupsi di tingkat pengadilan, langkah pencegahan juga perlu diperkuat. Pengawasan dan monitoring terhadap proses pengadilan serta peningkatan transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi salah satu upaya yang penting. Masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengawasan dan melaporkan dugaan praktik suap atau korupsi yang terjadi di lingkungan pengadilan.

Kasus suap Hakim Agung ini menjadi bukti bahwa korupsi masih menjadi masalah besar di Indonesia. Upaya penegakan hukum dan pencegahan yang konsisten dan sistematis diperlukan untuk memberantasnya. Semoga langkah-langkah yang telah ditempuh KPK dan lembaga terkait dapat membantu memperbaiki citra peradilan di Indonesia dan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan adil.

Rizka Wulandari

Rizka Wulandari sudah terjun di dunia media selama tiga tahun terakhir. Sejak lulus kuliah, ia sudah bekerja untuk beberapa publikasi independen di Jakarta dan menulis berbagai artikel dengan tema yang beragam.