Sekjen Kemenkumham Menjelaskan Transformasi Pemasyarakatan dalam Memperingati HBP

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memperingati Hari Bhakti Pemasyarakatan (HBP) yang jatuh pada tanggal 27 April. Sekretaris Jenderal Kemenkumham, Andap Budhi Revianto, mengungkapkan bahwa peringatan HBP ke-59 tahun 2023 bukan hanya seremonial, melainkan sebagai upaya evaluasi dan perbaikan dalam pelayanan pemasyarakatan.
Andap menegaskan pentingnya komitmen dan konsistensi semua pihak yang terlibat dalam pemasyarakatan dalam mewujudkan transformasi pemasyarakatan yang pasti, berakhlak, dan dapat membantu kemajuan Indonesia. Dalam acara ini, Andap juga menjelaskan perubahan konsep pemasyarakatan dari waktu ke waktu sejak diperkenalkan hingga saat ini.
Sistem pemasyarakatan pertama kali diperkenalkan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada 5 Juli 1963. Sistem ini digambarkan sebagai bentuk pembinaan terhadap narapidana. Kemudian, konsep tersebut disahkan dalam konferensi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada 27 April hingga 7 Mei 1964 di Lembang, Bandung. Pada saat itu, Menteri Kehakiman mencetuskan ide pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan.
Dalam perkembangannya, istilah kepenjaraan berubah menjadi pemasyarakatan dengan tujuan mencapai reintegrasi sosial dalam pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP). Konsep ini lalu dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Menurut penjelasannya, pada masa tersebut pemasyarakatan memandang WBP sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, WBP diberikan pembinaan khusus seperti keterampilan, pembentukan akhlak, dan penguatan mental.
Transformasi pemasyarakatan kemudian berlanjut melalui UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menggantikan UU Nomor 12 tahun 1995. UU Nomor 22 Tahun 2022 secara mendasar memperbaiki pelaksanaan fungsi pemasyarakatan, meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Sekjen Kemenkumham menjelaskan bahwa UU Pemasyarakatan yang baru telah membawa paradigma hukum pidana modern. Dalam hal ini, pemberian pidana bukan lagi untuk balas dendam. Transformasi pemasyarakatan sejalan dengan paradigma hukum pidana modern, yakni keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Perubahan itu menunjukkan betapa pentingnya transformasi pemasyarakatan dalam memperbaiki kehidupan WBP dan menciptakan keadilan yang sesuai dengan prinsip hukum pidana modern. Transformasi ini juga menunjukkan bahwa pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemasyarakatan demi mencapai tujuan utama, yaitu reintegrasi sosial WBP.
Dalam konteks Indonesia, perjuangan untuk mencapai transformasi pemasyarakatan yang optimal tentu tidak mudah. Berbagai tantangan, seperti minimnya sumber daya dan fasilitas, masih harus dihadapi dalam upaya untuk memperbaiki pelayanan pemasyarakatan. Namun, komitmen dan konsistensi semua pihak yang terlibat dalam pemasyarakatan menjadi kunci utama yang diperlukan dalam mengatasi tantangan tersebut.
Peringatan HBP menjadi momentum yang tepat untuk mengevaluasi dan memperbaiki pelayanan pemasyarakatan di Indonesia. Dengan semangat perubahan dan transformasi, diharapkan pemasyarakatan dapat semakin pasti dan berakhlak dalam membantu kemajuan bangsa.
Dalam upaya mencapai transformasi pemasyarakatan yang optimal, peran serta masyarakat menjadi penting. Masyarakat perlu memahami dan mendukung proses reintegrasi sosial WBP dengan memberikan kesempatan dan dukungan yang dibutuhkan, sehingga mereka dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bertanggung jawab.
Transformasi pemasyarakatan menjadi bukti bahwa Indonesia terus berusaha untuk memperbaiki kualitas kehidupan warganya, termasuk WBP. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan mewujudkan keadilan bagi semua pihak.
Baca berita terbaru lainnya di sini.