RUU Perampasan Aset Belum Jelas, Keluhan Mahfud MD Dianggap Gimik

Kritik terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebagai sebatas gimik ditujukan ketika dia mengeluhkan kesulitan mengesahkan produk hukum seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah meminta pemerintah untuk terlebih dahulu melobi ketua umum partai politik agar pembahasan RUU tersebut bisa berjalan lancar.
Julius Ibrani, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia (PBHI), mengatakan bahwa hingga saat ini pemerintah belum menyerahkan draf RUU Perampasan Aset kepada DPR. Menurut Julius, keluhan Mahfud kemarin hanya menjadi bukti bahwa produk hukum seperti RUU Perampasan Aset belum disampaikan kepada legislatif.
Selain itu, permasalahan yang menghambat pembahasan RUU Perampasan Aset adalah lembaga aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan belum sepakat dalam banyak hal. Menurut Julius, para aparat penegak hukum belum menyetujui kewenangan, pengelolaan, serta dasar hukum upaya paksa terhadap aset yang ditargetkan dan segala aspek terkait RUU tersebut.
Julius mengatakan, konfirmasi mengenai belum diterimanya draf RUU Perampasan Aset oleh DPR diperolehnya langsung dari sejumlah anggota Komisi III atau Komisi Hukum DPR seperti Arsul Sani dari fraksi PPP, Taufik Basari dari fraksi Nasdem, dan Habiburokhman dari fraksi Gerindra.
Pada rapat dengar pendapat sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyarankan pemerintah untuk melobi para ketua umum partai politik agar legislatif bisa segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Dia mengatakan, pembahasan dan pengesahan RUU itu akan berjalan lancar jika ada persetujuan dari para ketua umum partai politik.
Namun, anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menegaskan bahwa pihaknya belum menerima naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset. Menurut Didik, saat ini DPR masih menunggu pengiriman draf RUU tersebut oleh pemerintah. Ia membantah bila DPR dianggap menghalangi proses pengesahan RUU tersebut.
Menurut Didik, pemerintah saat ini masih melakukan harmonisasi ke beberapa kementerian terkait naskah akademik dan draf RUU tersebut. DPR baru bisa melakukan pembahasan ketika menjalani proses penyelesaian draf tersebut dan menerima surat perintah dari presiden. Ia mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset sangat dibutuhkan mengingat tindak pidana ekonomi semakin beragam.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan mendorong RUU Perampasan Aset untuk segera disahkan oleh DPR. Menurut Jokowi, undang-undang tersebut akan memudahkan penyelesaian tindak pidana korupsi.
Namun, hanya tiga dari enam pimpinan instansi yang dimintai persetujuan draft RUU tersebut sudah memberikan persetujuan yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly; serta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
Sementara itu, tiga pimpinan instansi yang belum menandatangani persetujuan draf RUU tersebut adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Jadi, meskipun ada beberapa kendala dalam proses pengesahan RUU Perampasan Aset, diharapkan pemerintah dan DPR segera meluruskan masalah yang ada dan menjalankan pembahasan agar RUU tersebut bisa segera disetujui dan diberlakukan untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia.
Baca berita terbaru lainnya di sini.