Refleksi Haji ungkap keharmonisan hubungan negara dengan umat

Dalam era globalisasi saat ini, pemisahan yang tegas antara negara dan agama sering menjadi topik perdebatan. Tidak semua negara memiliki praktik yang sama dalam hal ini. Banyak budaya menunjukkan variasi dalam interaksi mereka dengan agama. Agama tidak bisa hilang begitu saja dari proses dan prosedur kenegaraan, kemasyarakatan, dan mobilisasi massa. Politik identitas menjadi sorotan karena itu adalah alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi publik. Hampir semua negara berkomitmen pada politik identitas dan harus berhati-hati untuk menghindarinya.
Amerika dan Eropa saat ini menghadapi perasaan emosional pemilih yang didasarkan pada identitas primordial. Sentimen antiimigrasi, relasi antarwarga negara, serta nasib orang asli dan pendatang menjadi sorotan. Indonesia juga menghadapi masalah yang serupa, tetapi menawarkan gejala yang unik dan menarik.
Sejak awal berdirinya bangsa ini, para pendiri bangsa dan pemikir selanjutnya telah menekankan pentingnya negara yang netral dan tidak terlalu mencampuri urusan agama. Namun, kenyataannya negara harus hadir dan melayani, bukan hanya agama secara doktrin dan teologis, tetapi juga kebutuhan umat beragama dalam masyarakat. Kementerian Agama adalah contoh nyata dari hal ini.
Oleh karena itu, lebih tepat untuk menyebut gejala ini sebagai relasi negara dan umat, bukan relasi negara dan agama, dalam wacana politik dan agama di Indonesia. Implikasinya cukup berbeda, namun yang jelas di Indonesia, negara dan umat saling berinteraksi sepanjang waktu sejak kemerdekaan hingga reformasi. Negara selalu bertanggung jawab untuk keamanan dan kenyamanan dalam pelaksanaan semua perayaan hari suci agama, tidak hanya Islam. Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Nyepi, Waisak, Imlek dan masih banyak lagi menjadi perhatian serius pemerintah.
Dalam pelaksanaan ibadah haji, interaksi antara negara dan umat ini menjadi semakin jelas. Negara memiliki peran dominan dan vital dalam urusan manajemen, pengaturan, koordinasi, dalam bidang ekonomi, sosial, politik, birokrasi, administrasi, diplomasi, dan transportasi. Indonesia memiliki kebijakan yang unik dalam hal pelaksanaan ibadah haji, yang berbeda dengan negara lain seperti Turki, Mesir, India, Pakistan, Bangladesh, dan Malaysia.
Kementerian Agama memiliki direktorat jenderal lengkap dengan perangkap birokrasi dan administrasi yang telah terbukti. Haji bukan hanya urusan umat yang menjalankan ibadah tersebut, tetapi juga urusan diplomasi, politik, ekonomi, dan birokrasi negara. Koordinasi lengkap dan menyeluruh dilakukan oleh negara untuk menjamin keselamatan jamaah haji, mulai dari penjemputan di bandara, akomodasi, pengawasan ibadah, kesehatan, dan hal-hal yang menyangkut psikologis dan sosial.
Tahun 2023 ini, haji di Kementerian Agama bertema ramah lansia, sebagai bentuk tanggung jawab negara pada 30 persen jamaah haji yang berusia lanjut. Negara melakukan pengawasan pelayanan lansia, perawatan medis, dan beberapa masalah seperti kursi roda, jual beli jasa dorongan, dan joki Hajar Aswad di Ka’bah. Persoalan sah dan tidaknya ibadah mereka ketika safari wukuf, mabit, dan perwakilan lempar jumrah juga menjadi perhatian negara.
Singkatnya, Indonesia memang unik dalam urusan negara dan umat. Pasca-sekularisasi dalam ilmu politik dan sosial perlu dilihat ulang. Meskipun penggunaan agama dalam politik dan kampanye Pemilu dianggap tidak relevan dan berbahaya, namun masyarakat Indonesia masih membutuhkan interaksi negara dan umat dalam banyak aspek. Haji merupakan contoh nyata bilamana peran negara sangat dibutuhkan dalam melayani kepentingan umat.