Pada Juni 2023, Jokowi Akan Memulai Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Aceh

Presiden Joko Widodo, yang juga dikenal sebagai Jokowi, berencana meluncurkan upaya penyelesaian non-yudisial terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Aceh pada bulan Juni 2023. Gagasan ini diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, pada konferensi pers selepas rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Tanggal yang pasti untuk kick-off penyelesaian ini belum diinformasikan. Mahfud MD hanya menyebut bahwa Presiden Jokowi akan mengunjungi tiga lokasi, yaitu Simpang Tiga, Rumoh Gedong dan Pos Sattis, serta Jambo Keupok. Pemerintah telah mengakui ketiga peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut terjadi di Aceh.
Peluncuran ini direncanakan akan ditandai dengan peresmian taman belajar HAM. Selain itu, pemerintah akan mengundang para eksil atau korban pelanggaran HAM berat yang ada di luar negeri untuk kembali ke Indonesia dan menyatakan mereka sebagai warga negara Indonesia. Menurut catatan pemerintah, ada 39 orang eksil yang berada di luar negeri karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Mahfud menekankan bahwa meski mereka tidak ingin pulang, mereka akan dianggap sebagai warga negara yang tidak mengkhianati negara.
Para eksil ini kini memiliki hak yang sama di depan hukum, karena vonis terhadap “pengkhianat negara” telah diselesaikan oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Pemerintah Indonesia sejak era Reformasi juga tidak lagi melakukan skrining terhadap orang-orang yang dituduh terkait Partai Komunis Indonesia.
Presiden Jokowi sebelumnya telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat pada 15 Maret 2023. Inpres ini dibuat sebagai langkah bagi pemerintah untuk melaksanakan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Dalam Inpres tersebut, Presiden meminta 19 menteri dan kepala lembaga untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Instruksi ini diberikan untuk melaksanakan dua hal: Pertama, memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana; Kedua, mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi.
Adapun tugas khusus terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat diberikan kepada sejumlah menteri dan kepala lembaga. Beberapa di antaranya adalah Menteri Keuangan yang diminta untuk memprioritaskan pemberian beasiswa LPDP kepada anak korban pelanggaran HAM berat, serta Panglima TNI dan Kapolri yang diinstruksikan untuk meningkatkan pelatihan dan pendidikan HAM kepada anggotanya.
Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakan HAM di Indonesia dan menegaskan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Selain itu, upaya penyelesaian non-yudisial diharapkan dapat menjadi solusi aman dan menghindari kriminalisasi bagi mereka yang dituduh terlibat dalam pelanggaran HAM berat, sehingga mereka dapat kembali berintegrasi ke masyarakat tanpa rasa takut dan kekhawatiran.
Baca berita terbaru lainnya di sini.