Politik

Menimbang Strategi Prabowo demi Damai Rusia-Ukraina yang Menggema

Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengajukan usulan untuk mengakhiri konflik antara Rusia dan Ukraina pada acara Dialog Shangri-La ke-20 di Singapura pada 3 Juni lalu. Prabowo menawarkan lima langkah yang harus ditempuh untuk mencapai perdamaian antara kedua negara, mencakup gencatan senjata, pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 kilometer, zona demiliterisasi diawasi PBB, mengirim pasukan pemantau, dan penyelenggaraan referendum. Namun, proposal ini ditolak mentah-mentah oleh Pemerintah Ukraina yang menganggap usulan tersebut aneh.

Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi proposal perdamaian Prabowo, yaitu perspektif Konstitusi, perspektif resolusi konflik, dan konsistensi posisi Indonesia di PBB terkait konflik Rusia-Ukraina. Pertama, usulan tersebut sejalan dengan amanat Konstitusi yang mewajibkan Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam upaya memelihara perdamaian dunia. Sebenarnya, proposal yang dibuat oleh Prabowo mencerminkan komitmen Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Kedua, dari perspektif resolusi konflik, langkah-langkah yang diajukan oleh Prabowo memang umum ditemukan dalam inisiatif perdamaian untuk menyelesaikan konflik. Namun, penting untuk dicermati bahwa proses penyelesaian konflik hanya bisa dimulai jika ada kemauan politik dari kedua pihak yang bertikai untuk berdamai. Keberhasilan resolusi konflik sangat ditentukan oleh “kematangan situasi” yang mendorong kedua pihak untuk menyelesaikan konflik, seperti yang dikenal dalam teori “ripe and hurting stalemate” oleh William Zartman.

Situasi perang antara Rusia dan Ukraina saat ini belum mencapai tahap jalan buntu, yang membuat kedua belah pihak merasa perlu menyelesaikan konflik. Pihak Rusia terus melancarkan ofensif di wilayah Ukraina, sementara Ukraina masih berusaha bertahan dan menyerang balik dengan bantuan Uni Eropa dan NATO. Inilah alasan utama penolakan Ukraina terhadap usulan Prabowo.

Ketiga, usulan Prabowo juga perlu dipertimbangkan dalam konteks posisi Indonesia di PBB terkait konflik Rusia-Ukraina. Sebagai bagian dari mayoritas negara anggota PBB, Indonesia tidak mengakui keabsahan pendudukan Rusia atas provinsi Luhansk dan Donetsk di Ukraina Timur karena melanggar kedaulatan negara berdasarkan hukum internasional.

Namun, usulan Prabowo yang meminta pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 km dari posisi saat ini tidak konsisten dengan posisi Indonesia di PBB. Jika pasukan Rusia hanya mundur sejauh tersebut, artinya mereka masih berada di wilayah sah Ukraina. Sebagai anggota PBB yang tidak mengakui pendudukan Rusia di wilayah tersebut, Indonesia seharusnya tidak mengusulkan langkah yang membiarkan pendudukan berlanjut.

Kesimpulannya, walaupun niat baik Prabowo dalam mengajukan proposal perdamaian patut diapresiasi, namun belum adanya situasi yang matang untuk menyelesaikan konflik serta inkonsistensi dengan posisi Indonesia di PBB menjadi alasan utama penolakan Ukraina. Alhasil, proposal tersebut gagal menjadi solusi damai antara Rusia dan Ukraina. Untuk mencapai perdamaian, kedua belah pihak perlu menunjukkan kemauan politik yang kuat dan mencari solusi yang lebih konsisten dengan prinsip hukum internasional dan posisi negara pihak ketiga, seperti Indonesia, di forum internasional seperti PBB.

Arya Pratama

Arya Pratama adalah seorang jurnalis senior yang fokus pada berita politik. Ia telah bekerja untuk beberapa media terkemuka di Indonesia. Selama kariernya, Arya telah meliput berbagai peristiwa penting di dunia politik Indonesia, termasuk pemilihan umum, sidang parlemen, serta peristiwa-peristiwa penting di tingkat nasional dan internasional.