
Kegagalan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia telah menimbulkan berbagai polemik yang cukup memilukan. Event tersebut telah dipersiapkan dengan matang dan besar harapan untuk menjadi ajang promosi Indonesia ke dunia internasional. Namun, mimpi tersebut harus sirna.
Sumber tragedi ini datang dari faktor sentimen politik yang mencuat ke permukaan. Hal ini disebabkan oleh lolosnya timnas Israel ke event tersebut dengan status Runner Up Euro U-19. Keberuntungan Israel menjadi petaka bagi Indonesia yang niatnya ingin menjadikan turnamen tersebut sebagai ajang promosi.
Seperti diketahui, penolakan atas kedatangan timnas Israel ini digaungkan oleh beberapa kelompok. Namun, penolakan ini makin kuat suaranya setelah dibicarakan oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster, dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Semua kehebohan ini akhirnya membuat FIFA membatalkan drawing turnamen di Bali dan membuat Indonesia diberikan sanksi.
Adapun pembenaran untuk penolakan Israel ini terbagi menjadi tiga alasan. Pertama, Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik. Kedua, FIFA dianggap melakukan diskriminasi terhadap Rusia dan Israel. Ketiga, Israel dianggap sebagai penjajah Palestina dan menjadikan mereka saingan internasional yang tidak sah.
Pertimbangkan dalil pertama, mengenai ketiadaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran atlet bulutangkis Taiwan seperti Chou Tien Chen dan Tai Tzu Ying yang sering bermain di Jakarta. Diketahui bahwa Indonesia dan Taiwan tak memiliki hubungan diplomatik, namun hal ini tidak mengganggu kolaborasi dalam dunia olahraga.
Selanjutnya, mengenai dalil kedua, FIFA dianggap melakukan diskriminasi terhadap Rusia dan Israel karena hukuman yang diberikan kepada Rusia sebagai bentuk sanksi atas invasi ke Ukraina. Namun, di sisi lain FIFA tidak menghukum Israel yang dianggap sama-sama melakukan invasi ke Palestina. Penting untuk dicatat bahwa hukuman dari organisasi sepakbola terhadap negara yang melakukan agresi tergantung pada berbagai faktor, seperti keamanan, penerimaan, dan keberlangsungan pertandingan.
Mari kita lihat argumentasi ketiga, bahwa Israel dianggap sebagai penjajah Palestina. Menolak kehadiran Israel di Indonesia adalah bentuk dukungan terhadap kolonialisme dan pelanggaran konstitusi. Namun, jika kita melihat bagaimana Palestina sendiri tidak mempermasalahkan posisi Israel, seharusnya kita bisa memahami bahwa hal ini bukan hanya soal politik.
Mencermati peristiwa yang terjadi, kita melihat bahwa banyak di antara para penolak Israel ini sebenarnya tidak konsisten dalam sikap mereka. Beberapa dari mereka tak mengemukakan penolakan saat delegasi Israel hadir dalam berbagai acara di Indonesia. Maka dari itu, kita juga harus menilai apakah penolakan ini murni aksi antikolonialisme atau hanya jualan politik semata.
Kini, kita semua berada dalam posisi yang sangat berisiko terkena dampak luas dari kegagalan event ini. Harapan kita untuk melihat putra terbaik bangsa Indonesia berkompetisi di kancah internasional harus sirna. Sebagai langkah ke depan, kita harus mencari tahu bagaimana cara menghindari sanksi berat FIFA yang akan sangat berdampak pada perkembangan sepak bola di Indonesia. Kami berharap, Indonesia tidak akan lagi alami kisah pilu seperti ini di masa mendatang, dan semua pihak yang terlibat dalam penolakan Israel ini akan bertanggung jawab secara proporsional.
Baca juga: Dampak pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20, elektabilitas Ganjar diperkirakan melemah.