Masyarakat Diminta Menempati DPR jika RUU Perampasan Aset Tidak Berjalan

Masyarakat perlu bergerak dan memberikan tekanan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) apabila pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana terus mengalami hambatan. Pasalnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul beberapa waktu lalu mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset bisa disahkan jika pemerintah berhasil melobi para pimpinan partai politik agar memberikan dukungan.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani, menegaskan bahwa jika perlu, masyarakat harus duduki DPR dan segala macam. Menurut Julius, lobi politik juga dilakukan ketika pemerintah dan DPR membahas RUU lain, seperti RUU KUHP, amnesti pajak, dan RUU Cipta Kerja.
Julius mengkritik Menko Polhukam Mahfud MD yang mengeluh bahwa upaya pembahasan RUU Perampasan Aset terhambat karena adanya permintaan untuk melobi para ketua umum parpol. Menurut Julius, sebenarnya dorongan dari Presiden Jokowi terhadap upaya pembahasan RUU Perampasan Aset harus diperkuat supaya agenda pemberantasan korupsi terus berjalan.
Dalam sebuah rapat dengar pendapat dengan Mahfud MD pada 29 Maret 2023, Bambang Pacul mengusulkan agar pemerintah melobi ketua umum parpol. Bambang mengaku tidak berani mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal jika tidak ada perintah dari “ibu”. Sosok “ibu” yang dimaksud Bambang Pacul belum dijelaskan, tetapi dia menegaskan bahwa pengesahan RUU ini harus ada persetujuan dari para ketua umum partai politik.
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengatakan bahwa pihaknya belum menerima naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset. Ia menyampaikan bahwa DPR masih menunggu draf RUU yang merupakan inisiatif pemerintah tersebut dikirim ke Senayan. Menurut Didik, kecepatan pengesahan RUU ini sangat bergantung pada Presiden mengirim naskah akademik dan draf RUU ke DPR.
Selanjutnya, Didik menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset sangat dibutuhkan karena cara melakukan tindak pidana ekonomi, mulai dari korupsi hingga pencucian uang semakin beragam. RUU Perampasan Aset menjadi agenda penting yang perlu segera dibahas dan diundangkan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan akan segera mendorong RUU Perampasan Aset untuk disahkan oleh DPR. Ia ingin baleid tersebut kian memudahkan proses penindakan tindak pidana korupsi. Namun, dikutip dari Kompas.id pada 31 Maret 2023, dari enam pimpinan instansi yang dimintai persetujuan draft RUU, baru tiga yang sudah memberikan persetujuan.
Ketiganya adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly; serta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. Sementara itu, tiga pimpinan instansi yang belum menandatangani adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Mekanisme lobi politik memang bukan hal yang baru dalam pembahasan berbagai RUU. Namun, memberikan tekanan dari masyarakat diharapkan dapat mempercepat pengesahan RUU Perampasan Aset agar lebih efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya. Keseriusan pemerintah dan DPR dalam mengatasi permasalahan korupsi pun akan menjadi tolak ukur keberhasilan pembahasan dan pengesahan RUU ini.
Baca berita terbaru lainnya di sini.