Connect with us

Kriminal

KPK Tanggapi Gaya Hidup Mewah Anak Andhi Pramono serta Temuan 15 Pucuk Senpi di Rumah Dito Mahendra

Rizka Wulandari

Published

on

FOTO: Mahendra Dito S

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi penggeledahan di rumah seorang wirausaha bernama Mahendra Dito S atau Dito Mahendra di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penggeledahan itu berhubungan dengan penyelidikan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi. Tim KPK menemukan 15 pucuk senjata api berbagai jenis dalam operasi itu.

KPK juga menjalankan klarifikasi terhadap Kepala Bea dan Cukai Makassar, Andhi Pramono. Pasalnya, anak Andhi kerap menampilkan pakaian mewah di media sosial. Andhi mengaku bahwa gaya hidup dan pakaian yang digunakan oleh anaknya merupakan hasil endorsement. Namun, KPK tidak serta merta mempercayai klaim Andhi. Ia justru menyandingkan keterangan tersebut dengan bukti lain yang telah dikantongi tim Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Selain itu, publik juga mendapatkan informasi tentang tahapan pendidikan Kopassus yang lahirkan prajurit elite TNI Angkatan Darat. Kopassus berisi prajurit tangguh dan terlatih yang diperoleh melalui seleksi awal dan sejumlah tahapan pendidikan yang menguras fisik dan mental.

Dari informasi yang diberikan, masyarakat dapat memahami bahwa KPK tidak selalu mempercayai klaim orang tanpa bukti dan bahwa prajurit elite TNI Angkatan Darat membutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang tinggi untuk mendapatkan keahlian mereka. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Simak berita terbaru lainnya di sini.

Kriminal

Kasus Penyelundupan Sepatu Bekas Impor di Riau Dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri

Rizka Wulandari

Published

on

FOTO: Ilustrasi garis polisi dari Freepik

Kepolisian Daerah Riau melakukan pelimpahan tahap kedua terkait kasus penjualan barang impor ilegal. Pelimpahan ini dilakukan atas arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang berdasarkan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menindak tegas penyelundupan barang bekas impor yang mengganggu industri tekstil dalam negeri. Kasubdit 1 Ditkrimsus Polda Riau, AKBP Edi Rahmat Mulyana, menjelaskan bahwa tindakan pengungkapan terhadap tersangka bernama Mastur warga Tembilahan Hulu, Indragiri Hulu, berawal pada Rabu (18/1/2023).

Setelah diselidiki, diketahui bahwa Mastur telah melakukan perdagangan barang-barang yang dilarang untuk diperdagangkan, yaitu sepatu second asal luar negeri. Modus tersangka adalah mengimpor secara ilegal barang tersebut dari Kota Batam, Kepulauan Riau, agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Penyidik pun melakukan penyitaan terhadap 300 karung sepatu second, satu unit Hp, dan lima struk setoran yang berada di rumah tersangka.

Berdasarkan pengakuannya, tersangka sudah melakukan bisnis barang sepatu bekas lebih kurang lima tahun. Tersangka dikenakan beberapa pasal sebagai berikut: Pasal 111 Jo Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sebagaimana telah diubah sesuai dengan Pasal 46 angka 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 55 KUHPidana: Pasal 47 ayat (1). Yakni, “Setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru“.

Selanjutnya, Pasal 111 “Setiap Importir yang Mengimpor dalam keadaan tidak baru Sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan/atau Pidana denda paling banyak Rp5 miliar dan Pasal 55 ayat 1 KUHPidana “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit telah menginstruksikan Polda Riau untuk melakukan pelimpahan tahap kedua atau penyerahan tersangka dan dokumen perkara Mastur ke Kejaksaan Negeri Tembilahan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tindakan tegas terhadap kejahatan penyelundupan barang bekas impor yang mengganggu industri tekstil dalam negeri.

Dari kasus ini, diharapkan agar masyarakat tidak melakukan bisnis ilegal seperti yang dilakukan tersangka. Perdagangan ilegal hanya akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat dan industri dalam negeri. Diharapkan juga agar pemerintah tetap menindak tegas para pelaku kejahatan seperti ini, agar kasus seperti ini tidak terulang.

Baca berita terbaru lainnya di sini.

Lanjut membaca

Kriminal

Transaksi Rp 349 Triliun Dicurigai Sebagai Pencucian Uang oleh PPATK

Rizka Wulandari

Published

on

FOTO: Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menegaskan bahwa dalam temuan transaksi yang diduga meragukan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun, ada indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal tersebut ditegaskan ketika ditanya oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa.

Ivan menjelaskan bahwa temuan tersebut bukan berarti tindak pidana pencucian uang sepenuhnya dilakukan oleh Kemenkeu. Penyerahan laporan kepada PPATK merupakan bagian tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.

Ia mengungkapkan bahwa ada tiga kategori dalam penyerahan laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK. Pertama, LHA yang diserahkan terkait dengan oknum. Kedua, LHA yang menemukan indikasi tindak pidana dan oknumnya sekaligus. Terakhir adalah penyampaian LHA yang menemukan tindak pidana asalnya, tapi tidak menemukan oknumnya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terus bekerja sama dengan PPATK dalam mengusut dugaan transaksi yang diduga curigakan hingga Rp 349 triliun. Sri menyinggung adanya transaksi yang diduga curigakan hingga Rp 189 triliun dari satu laporan PPATK.

Sri Mulyani memerinci satu surat yang sangat menonjol dari PPATK adalah surat nomor 205/PR.01/2020 yang dikirimkan pada 19 Mei 2020. Pada saat itu, Indonesia masih mengalami pandemi Covid-19. Sri mengatakan bahwa Kemenkeu langsung menindaklanjuti surat dari PPATK itu lewat kantor Ditjen Pajak dan Bea Cukai.

Kecurigaan ini didasari besarnya angka transaksi. Disebutkan PPATK ada 15 individu dan entitas yang terkait dalam kasus ini, yang menyebabkan nilai transaksi mencapai Rp 189 triliun.

Dalam menyelesaikan kasus ini, Kemenkeu dan PPATK bekerja sama untuk menangani dugaan transaksi yang diduga meragukan. Dengan demikian, tidak bisa diterjemahkan bahwa tindak pidana ini berasal dari Kemenkeu.

Hal tersebut juga berbeda dengan penyerahan kasus korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyerahan ini lebih kepada tindak pidana korupsi, penyidik TPPU, dan pidana asalnya adalah KPK.

Terkait dengan ini, Komisi III DPR meminta Kemenkeu dan PPATK untuk terus bekerja sama dalam mengusut kasus ini hingga tuntas. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan menjamin bahwa setiap transaksi yang terjadi di Kemenkeu berjalan dengan aman.

Baca juga: Usulan Kepala PPATK Ada Sistem Manajemen Risiko untuk Cek LHKPN Pejabat.

Lanjut membaca

Kriminal

Pemuda Asal Sukabumi Ditangkap karena Menjual Ribuan Obat Keras Tanpa Izin Edar

Rizka Wulandari

Published

on

FOTO: Freepik

Satuan Narkoba Polres Sukabumi Kota berhasil menangkap seorang pemuda berinisial MS (25) yang berasal dari Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dia ditangkap karena ditemukan sedang mengedarkan obat keras tanpa izin edar.

Keberhasilan penangkapan ini berkat informasi dari masyarakat yang mencurigai gerak-gerik tersangka, sehingga langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian. Dari tangan tersangka, petugas menyita 1.310 butir obat keras terbatas yang telah dibuat menjadi beberapa paket. Dari jumlah tersebut, 460 adalah Tramadol HCI dan 850 Hexymer.
Tersangka ditangkap di rumahnya di Kampung Cibungur, Kelurahan Sindangpalay, Kecamatan Cibereum Kota Sukabumi. Setelah mendapatkan barang bukti, tersangka pun langsung dibawa ke ruang penyidik Satnarkoba Polres Sukabumi Kota.

Saat dimintai keterangan oleh penyidik, tersangka mengaku bahwa obat keras terbatas tanpa izin edar yang dimilikinya berasal dari salah satu marketplace dengan harga Rp 2,5 juta. Rencananya, obat itu akan diedarkan di wilayah hukum Polres Sukabumi Kota.

Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa modus operasi tersangka dalam mengedarkan obat ilegalnya baik berupa temu langsung maupun tempel atau peta. Kepolisian masih mengembangkan kasus ini untuk mengetahui apakah tersangka melakukan aksinya seorang diri atau memiliki jaringan.

Karena ulahnya itu, tersangka dipastikan akan menjalani Ramadhan dan merayakan Idul Fitri 1444 H di balik jeruji penjara. Pasal yang dijeratkan adalah pasal 197 Jo pasal 106 ayat (1) atau pasal 196 Jo pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Satuan Narkoba Polres Sukabumi Kota berhasil menangkap seorang pemuda berinisial MS (25) yang berasal dari Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dia ditangkap karena ditemukan sedang mengedarkan obat keras tanpa izin edar. Keberhasilan penangkapan ini berkat informasi dari masyarakat yang mencurigai gerak-gerik tersangka, sehingga langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian. Dari tangan tersangka, petugas menyita 1.310 butir obat keras terbatas yang telah dibuat menjadi beberapa paket. Dari jumlah tersebut, 460 adalah Tramadol HCI dan 850 Hexymer.

Tersangka ditangkap di rumahnya di Kampung Cibungur, Kelurahan Sindangpalay, Kecamatan Cibereum Kota Sukabumi. Setelah mendapatkan barang bukti, tersangka pun langsung dibawa ke ruang penyidik Satnarkoba Polres Sukabumi Kota. Saat dimintai keterangan oleh penyidik, tersangka mengaku bahwa obat keras terbatas tanpa izin edar yang dimilikinya berasal dari salah satu marketplace dengan harga Rp 2,5 juta. Rencananya, obat itu akan diedarkan di wilayah hukum Polres Sukabumi Kota.

Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa modus operasi tersangka dalam mengedarkan obat ilegalnya baik berupa temu langsung maupun tempel atau peta. Kepolisian masih mengembangkan kasus ini untuk mengetahui apakah tersangka melakukan aksinya seorang diri atau memiliki jaringan.

Karena ulahnya itu, tersangka dipastikan akan menjalani Ramadhan dan merayakan Idul Fitri 1444 H di balik jeruji penjara. Pasal yang dijeratkan adalah pasal 197 Jo pasal 106 ayat (1) atau pasal 196 Jo pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Kepolisian mengajak masyarakat untuk terus menjadi mata dan telinga kepada kejadian yang berbau pelanggaran hukum. Dengan berani melaporkan jika mencurigai adanya pelanggaran hukum, maka akan mengurangi jumlah peredaran obat ilegal di masyarakat. Pihak kepolisian juga mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam berbelanja online, karena tidak seluruh penjual online merupakan penjual yang sah.

Baca berita terbaru lainnya di sini

Lanjut membaca

TREN