Kepentingan Komersial Mengalahkan Luas Tutupan Hutan yang Menyempit

Kondisi daerah aliran sungai (DAS) semakin mengkhawatirkan akibat semakin rapatnya area permukiman dan menipisnya lahan tutupan hutan di kawasan rentan seperti dataran tinggi dan daerah hulu sungai. Hal ini dapat menurunkan fungsi hutan sebagai regulator pengatur proses hidrologi alamiah.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999, pemerintah sebenarnya telah mengatur sejumlah regulasi untuk memastikan kecukupan luas kawasan hutan dan tutupan hutan di DAS dengan batasan minimal 30 persen. Akan tetapi, aturan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Penghapusan aturan ini tentu akan menyebabkan liberalisasi kebijakan yang membuka peluang lepas kendali pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan industri dan komersial.
Peran tutupan lahan sangat penting untuk mencegah erosi, longsor, banjir dan menjaga tegakan pohon, serasah dan tumbuhan bawah. Namun, upaya pelestarian ini terus tersisihkan dengan kepentingan ekonomi yang banyak menargetkan wilayah tutupan hutan sebagai tempat wisata, resort, hotel hingga perumahan. Ada pertentangan antara perencanaan tata ruang dan pengelolaan DAS untuk menjaga kecukupan kawasan hutan dan tutupan hutan di DAS.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah adanya kejelasan aturan tentang keseimbangan antara pemanfaatan hutan dan kompensasi yang perlu dikeluarkan pengelola dalam restorasi lanskap hutan agar hutan tetap lestari. Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pihak pengelola dapat memberikan insentif kepada pihak yang berkontribusi dalam pemulihan, pemeliharaan dan/atau pelestarian hutan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.
Akan tetapi, banyak pengelola tempat wisata, hotel atau resort yang berdiri di atas wilayah tutupan hutan hanya memberikan sumbangsih atau insentif seadanya untuk pemeliharaan dan restorasi hutan. Sebagai contoh, Tangkuban Perahu merupakan satu dari jutaan tempat yang memanfaatkan wilayah tutupan hutan sebagai area komersial. Pendapatan dari tempat wisata ini bisa mencapai miliaran per hari, namun insentif yang dialokasikan untuk restorasi hutan sangat kecil.
Pembangunan perumahan dan resort mewah di wilayah rentan juga memperburuk kondisi tersebut. Pemerintah sebagai regulator memiliki peran penting untuk menyortir perizinan pembangunan area komersial di kawasan hutan atau tutupan hutan DAS. Pemerintah daerah harus mampu mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan sesuai dengan fungsinya, bukan hanya memberikan kebebasan bagi pengelola komersial untuk mengeksploitasi hutan.
Menjaga kelestarian hutan dan DAS merupakan tanggung jawab bersama dan memerlukan koordinasi antara pemerintah dan pengelola komersial. Penghapusan aturan minimal 30 persen kawasan hutan dalam UU Cipta Kerja perlu diadakan kembali dan diperketat agar kondisi hutan dan DAS tidak semakin memprihatinkan. Penyusunan regulasi yang jelas mengenai keseimbangan pemanfaatan hutan dan kompensasi dalam restorasi hutan perlu segera dilakukan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran perizinan pembangunan area komersial di kawasan hutan atau tutupan hutan DAS harus lebih tegas.
Kecukupan tutupan hutan dan DAS sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Jika kondisi hutan dan DAS terus dibiarkan mengalami penurunan, dampaknya akan sangat berbahaya bagi lingkungan dan keberlanjutan hidup manusia. Oleh karena itu, upaya pelestarian hutan dan DAS harus menjadi prioritas bagi pemerintah dan masyarakat luas agar kehidupan di bumi bisa tetap lestari dan berkesinambungan.
Baca berita terbaru lainnya di sini.