Jokowi ajak ciptakan pemilu demokratis, tinggalkan politik praktis demi harapan bangsa

Presiden Joko Widodo diharapkan memastikan pemilu Pemilu 2024 berjalan demokratis, bukan untuk kepentingan politik praktis dalam pengakuannya yang bakal ikut campur dalam pemilihan umum yang akan datang. Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, menyatakan dukungannya bagi Jokowi jika cawe-cawe dilakukan untuk menjaga demokrasi serta memastikan pemilu 2024 berjalan jujur dan adil.
Kalla yakin bahwa Jokowi dan pihak-pihak terkait memahami batasan-batasan dalam mengintervensi proses pemilihan umum pada 2024 agar demokrasi tetap berjalan dengan baik. Jokowi menyampaikan niatnya untuk ikut campur dalam pemilu 2024 saat pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Kompleks Istana Kepresidenan.
Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, mengungkapkan bahwa dalam kesempatan pertemuan tersebut, Jokowi mengaku akan ikut campur demi kepentingan bangsa dan negara. Presiden juga menegaskan pentingnya kepemimpinan nasional untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju dalam waktu 13 tahun ke depan.
Menanggapi alasan Jokowi tersebut, Kalla menyatakan bahwa pemimpin masa depan harus mampu melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis yang sudah dikerjakan oleh pemerintah sebelumnya. Selain itu, diakui bahwa cara pengambilan keputusan masing-masing pemimpin pasti berbeda, meskipun tujuan yang ingin dicapai sama.
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebagai bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) juga berharap, campur tangan Jokowi memastikan pemilihan umum berjalan sesuai prinsip demokrasi, jujur, dan adil. Ada banyak kekhawatiran bahwa figur capres atau cawapres menjadi korban penjegalan dalam pelaksanaan pemilu.
Sementara itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan bahwa cawe-cawe Jokowi akan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Ia juga membantah tudingan bahwa cawe-cawe bermakna mendukung calon presiden tertentu pada pemilihan umum atau ikut campur hasil pemilihan umum.
Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), berkomentar bahwa pernyataan Jokowi justru menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Menurut Dedi, jika intervensi dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara, Jokowi seharusnya mengintervensi Mahkamah Konstigusi, KPK, atau KPU agar suasana demokrasi berjalan sesuai koridor konstitusi serta tepat waktu.
Dedi menilai, yang terjadi saat ini adalah Jokowi menentukan siapa calon presiden yang diinginkan, berupaya memberikan fasilitas negara untuk pembahasan koalisi, hingga mengucilkan partai lain yang berseberangan. Hal ini menjadi tindakan yang tidak etis serta merusak wibawa kepala negara.
Ahmad Khoirul Umam, pengamat politik dari Universitas Paramadina, meminta agar pernyataan Jokowi tidak dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan politik pribadi dalam pemilihan umum. Presiden harus memastikan bahwa cawe-cawe yang dilakukan tidak melanggar hukum dan konstitusi, serta tidak menjadi alat politisasi kekuasaan negara.
Umam juga mengatakan bahwa tidak mudah memisahkan antara kepentingan negara dengan kepentingan politik pribadi presiden atau kelompoknya. Keduanya menjadi kabur dalam proses pemilu yang akan datang. Oleh karena itu, perlu adanya batasan yang jelas agar pemilihan umum dapat berlangsung demokratis, jujur, dan adil.
Dalam konteks ini, pernyataan Jokowi tentang campur tangannya diharapkan menjadi solusi untuk memastikan pemilu berjalan sesuai prinsip demokrasi dan tidak untuk kepentingan-kepentingan politik praktis yang merusak tata kelola pemerintahan di Indonesia.
Baca berita terbaru lainnya di sini.