Amerika Serikat telah mencoret Indonesia dari daftar negara-negara berkembang.
Keputusan ini dinilai akan memiliki dampak buruk untuk Indonesia ke depannya, menurut Fithra Faisal Hastiadi, Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia.
“Dalam konteks ini saya rasa pertimbangannya lebih ke politisi daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima negara berkembang,” ucap Fithra, di Jakarta pada Minggu (23/2).
Ia berkata bahwa ada sejumlah ketentuan dalam klasifikasi negara untuk menjadi sebuah negara maju. Salah satunya diambil dari penilaian sektor industrinya yang setidaknya berkontribusi minimum 30% untuk GDP (Gross Domestic Product).
“Jika dilihat dari ukuran negara maju Indonesia belum termasuk sana karena negara maju berkontribusi industrinya terhadap GDP diatas 30%,” jelasnya.
Fithra berpendapat meski saat ini kontribusi industri di negara maju turun terhadap GDP, tetapi negara tersebut berhasil melalui tahap negara industri maka bisa dikategorikan menjadi negara maju.
“Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri ke GDP turun tapi mereka bisa melewati tahapan sebagai negara industri,” tambahnya.
Ketentuan negara yang bisa disebut sebagai negara maju ialah dengan menilai pendapatan per kapitanya yang posisinya harus di atas 12 ribu dolar Amerika Serikat per tahunnya.
Diketahui, pendapatan per kapita Indonesia hanya mencapai USD 4 ribu per tahunnya.
“Ditambah lagi dengan HDI (Human Development Index) kalau sudah diatas 0,85, sudah termasuk negara maju tapi kita masih di 0,7. Sebenarnya ini sudah baik tapi belum bisa masuk kategori negara maju,”
Maka itu, dengan dicabutnya status negara berkembang dari julukan Indonesia akan menyebabkan Indonesia tidak menerima lagi fasilitas ODA (Official Development Assistance) yang menjadi alternatif pembiayaan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dan sosial.
Fithra sebut dengan ODA, negara berkembang juga mendapatkan bunga rendah dalam hutang negara.
Dampak terburuk akan sangat terasa pada sektor perdagangan karena Indonesia memungkinkan untuk menjadi subjek tarif yang tinggi karena tidak lagi diberi fasilitas sebagai negara yang berkembang.
Ia menyarankan pada pemerintah untuk bisa menyiapkan strategi dalam menghadapi hal ini.