Politik

Hasil Survei Litbang Kompas: Masyarakat Sepakat Kekayaan Penyelenggara Negara yang Tidak Masuk Akal Harus Direbut Kembali oleh Negara

Hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas pada awal April 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar publik Indonesia setuju bahwa negara berhak merampas aset penyelenggara negara yang tidak wajar dan berhasil dari sumber yang tidak sah.

Survei tersebut merekam 78,5 persen responden sepakat negara berhak melakukan perampasan aset penyelenggara negara jika aset tersebut tidak sesuai dengan harta kekayaan yang dilaporkan. Termasuk jika pejabat publik tidak dapat membuktikan bahwa penghasilan tersebut berasal dari sumber yang sah. Sedangkan 15,2 persen responden tidak setuju, dan 6,3 persen responden tidak tahu.

Menurut Litbang Kompas, opini publik ini sejalan dengan semangat yang termuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. RUU ini memiliki substansi utama bahwa aset yang diperoleh pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar dan tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah serta diduga terkait aset tindak pidana, dapat dirampas untuk negara.

Survei yang sama juga menangkap bahwa mayoritas publik menilai bahwa RUU Perampasan Aset mendesak untuk segera dibahas dan diundangkan. Sebanyak 82,2 persen responden menilai RUU ini mendesak untuk dibahas dan diundangkan, bahkan 35,5 persen responden menganggapnya sangat mendesak. Hanya ada 12,1 persen dan 1,5 persen responden yang menilai RUU Perampasan aset tidak mendesak dan sangat tidak mendesak untuk disahkan.

Opini tersebut muncul dari berbagai lapisan masyarakat, dan publik dengan preferensi politik yang berbeda juga menyampaikan desakan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perampasan aset ini menjadi kegelisahan bagi berbagai lapisan masyarakat.

Mayoritas publik (87,9 persen) memandang bahwa salah satu alasan maraknya korupsi di Indonesia disebabkan oleh masih lemahnya upaya untuk memiskinkan pelaku korupsi. Selaras dengan itu, sebanyak 8,6 persen dan 52,7 persen publik sangat yakin dan yakin bahwa RUU Perampasan Aset akan menjadi hukum yang kuat untuk memberi efek jera bagi pelaku korupsi.

Mempercepat proses pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi undang-undang adalah sebuah jawaban dari harapan publik. Survei ini diselenggarakan pada 4-6 April dengan melakukan wawancara terhadap 506 responden dari 34 provinsi yang sampelnya ditentukan secara acak sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian ini -/+ 4,36 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Presiden Joko Widodo sudah beberapa kali menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset perlu segera dituntaskan dalam rangka mempermudah pemberantasan korupsi. Namun, saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masih dalam tahap penyelesaian draf dan naskah akademik. Hingga akhir pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menerima surat presiden terkait RUU ini.

Surat presiden tersebut belum bisa dikirim karena Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Polri belum memberikan persetujuan terhadap draf regulasi tersebut.

Pada intinya, survei ini menunjukkan dukungan publik yang kuat terhadap upaya pemerintah untuk memperkuat hukum dalam memberantas korupsi dan merampas aset hasil tindak pidana. Dengan adanya dukungan ini, diharapkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat segera disahkan menjadi undang-undang, sehingga dapat menjadi instrumen yang efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi yang merugikan negara dan masyarakat Indonesia.

Baca berita terbaru lainnya di sini.

Arya Pratama

Arya Pratama adalah seorang jurnalis senior yang fokus pada berita politik. Ia telah bekerja untuk beberapa media terkemuka di Indonesia. Selama kariernya, Arya telah meliput berbagai peristiwa penting di dunia politik Indonesia, termasuk pemilihan umum, sidang parlemen, serta peristiwa-peristiwa penting di tingkat nasional dan internasional.