Kriminal

Divonis 8 Tahun, Pengacara yang Menyuap Hakim Agung Tidak Mengajukan Banding

Theodorus Yosep Parera, seorang pengacara yang menjadi terdakwa dalam kasus penyuapan hakim agung, mengonfirmasi bahwa dia tidak akan mengajukan banding atas vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 750 juta yang dijatuhkan kepadanya. Terdakwa lain dalam kasus yang sama, Eko Suparno, juga menegaskan tidak akan mengajukan banding meski divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.

Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Bandung menyatakan Yosep terbukti bersalah menyuap Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Sidang putusan digelar secara virtual dari gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yosep menyadari bahwa dirinya dan Eko jelas bersalah karena telah menyuap hakim agung. Meski begitu, dia menyatakan akan tetap melakukan kegiatan sosial meskipun akan menjalani masa tahanan di penjara. Yosep, pendiri lembaga bantuan hukum Rumah Pancasila, berencana memberikan bantuan kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas) selama masa hukumannya.

Sementara itu, Ali Fikri, Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK masih perlu mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan majelis hakim. “Atas putusan tersebut, tim Jaksa KPK menyatakan pikir-pikir,” ujar Ali.

Yosep dan Eko terlibat dalam dua kasus penyuapan hakim agung. Dalam dakwaan kesatu, mereka dituding menyuap Hakim Agung kamar pidana Gazalba Saleh dan Hakim Agung kamar perdata Sudrajad Dimyati dengan uang sebesar 310.000 dolar Singapura. Pemberian suap dilakukan bersama-sama dengan klien mereka, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto, yang merupakan debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Perkara tersebut sedang berjalan di Mahkamah Agung, baik di kamar perdata maupun pidana.

Selain itu, pada dakwaan kedua alternatif pertama, Yosep, Eko dan kedua kliennya juga didakwa menyuap Hakim Agung Takdir Rahmadi dengan uang 202.000 dolar Singapura. Rahmadi adalah hakim Peninjauan Kembali (PK) yang mengadili perkara perdata KSP Intidana. PK diajukan oleh Heryanto Tanaka karena masih merasa tidak puas dengan keputusan majelis kasasi.

Yosep menganggap bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya dan Eko merupakan hukuman di dunia orang mati. Namun, ia menegaskan bahwa jiwa sosialnya tidak bisa dipenjara. Kendati demikian, Yosep mengakui perbuatannya dan akan tetap berupaya memberikan manfaat kepada orang lain meskipun harus menjalani hukuman penjara.

Yosep menambahkan bahwa dirinya tidak berharap kasus penyuapan hakim agung ini hanya berakhir dengan pidana penjara bagi para terdakwa. Ia berharap agar kasus tersebut menjadi bahan introspeksi bagi upaya pemberantasan korupsi yang lebih luas, khususnya di institusi pengadilan.

Keputusan Yosep dan Eko untuk tidak mengajukan banding atas vonis mereka menunjukkan penyesalan atas perbuatan yang telah dilakukan. Sebagai pengacara, keduanya sadar akan hukum dan konsekuensi yang harus dihadapi. Mereka berjanji untuk tetap berbuat baik dan melakukan kegiatan sosial meski harus menjalani hukuman penjara.

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak yang terlibat dalam praktik penyuapan, khususnya di lingkungan peradilan. Harapan agar sistem peradilan bebas dari praktik korupsi dan penegakan hukum dapat berjalan dengan adil terus dipertaruhkan. Indonesia membutuhkan komitmen kuat dan upaya kolektif untuk memberantas korupsi serta memperbaiki integritas dan kualitas sistem peradilan.

Baca berita terbaru lainnya di sini.

Rizka Wulandari

Rizka Wulandari sudah terjun di dunia media selama tiga tahun terakhir. Sejak lulus kuliah, ia sudah bekerja untuk beberapa publikasi independen di Jakarta dan menulis berbagai artikel dengan tema yang beragam.