Politik

Dana Haram Menjelang Pemilu 2024, Mengumpulkan Dana Kampanye dari Hasil Korupsi

Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2024, para politisi terus melakukan berbagai upaya untuk mendanai kampanye mereka. Salah satu cara yang terungkap untuk mengumpulkan dana tersebut adalah dengan melakukan korupsi. Hal ini terlihat pada beberapa kasus yang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana para kepala daerah mencari uang haram untuk membiayai kampanye mereka.

Salah satu contoh kasus yang telah diungkap oleh KPK adalah Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, yang diduga menggunakan uang hasil korupsi untuk biaya kampanyenya sebagai calon gubernur Riau pada 2024. Adil terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK dan saat ini berstatus sebagai tersangka. Menurut Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Adil diduga memerintahkan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan setoran uang yang berasal dari pemotongan anggaran SKPD.

Selain itu, praktik serupa juga dilakukan oleh Bupati Kapuas, Ben Brahim S. Bahat, dan istrinya yang merupakan anggota DPR, Ary Egahni, yang berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi anggaran SKPD Kabupaten Kapuas. Keduanya diduga menggunakan uang hasil korupsi untuk membayar dua lembaga survei nasional, yaitu Poltracking dan Indikator Politik Indonesia, saat Ben berniat maju sebagai calon gubernur Kalimantan Tengah pada tahun 2020.

Direktur Indikator Politik Indonesia, Fauny Hidayat, mengungkapkan bahwa Ben Brahim menggunakan jasa lembaganya kala itu ingin mengantongi rekomendasi partai yang bersangkutan. Indikator Politik Indonesia dan Ben Brahim kemudian menyepakati hak dan kewajiban masing-masing pihak yang dicantumkan dalam kontrak kerja, termasuk salah satu klausul yang menyatakan bahwa pihak pemesan survei menjamin bahwa dana survei bukan berasal dari tindak pidana.

Di sisi lain, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan sejumlah modus pelanggaran aturan dana kampanye dalam pemilu. Peserta pemilu diharuskan membuat Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) untuk keperluan kampanye mereka, namun sejumlah modus digunakan untuk menghindari kepatuhan terhadap aturan tersebut.

Modus pertama adalah adanya penerimaan dana kampanye yang melebihi batasan sumbangan dana kampanye dari pihak perseorangan dengan memecah-mecah transaksi sumbangan. Modus berikutnya adalah penerimaan dana kampanye dari pihak perorangan kepada calon legislatif melalui rekening pribadi, tanpa melewati RKDK dan jumlahnya melebihi ketentuan. Selain itu, ada pula modus penyetoran tunai dalam jumlah signifikan, sehingga tidak teridentifikasi profil pihak penyumbang dana. Modus lain melibatkan pemanfaatan sarana rekening lain yang tidak terdaftar sebagai RKDK, tetapi digunakan untuk menampung dan menggunakan dana.

PPATK juga mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp 45 triliun yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) diduga mengalir kepada sejumlah politikus. Dana ini digunakan untuk membiayai pemenangan pada Pemilu 2019 dan 2024. Ketua Humas PPATK, M Natsir Kongah, menyebutkan bahwa dana tersebut berasal dari kejahatan finansial di bidang kehutanan, lingkungan hidup, serta perikanan dan kelautan.

Temuan tersebut telah dilaporkan kepada penyidik Polri dan KPK. Hal ini mencerminkan upaya pihak berwenang untuk mengungkap praktik korupsi dan penggunaan dana haram dalam kampanye politik. Diharapkan, semakin banyak kasus tersebut yang terungkap, maka akan semakin banyak pula politikus yang akan lebih berhati-hati dalam mencari sumber dana untuk kampanye mereka dan menghindari praktik korupsi serta pencucian uang.

Baca berita terbaru lainnya di sini.

Arya Pratama

Arya Pratama adalah seorang jurnalis senior yang fokus pada berita politik. Ia telah bekerja untuk beberapa media terkemuka di Indonesia. Selama kariernya, Arya telah meliput berbagai peristiwa penting di dunia politik Indonesia, termasuk pemilihan umum, sidang parlemen, serta peristiwa-peristiwa penting di tingkat nasional dan internasional.