Abraham Samad: Banyak Pegawai KPK Memiliki Semangat Pemberantasan Korupsi, Namun Terhalang

Abraham Samad, mantan Ketua KPK, mengungkapkan keyakinannya bahwa masih banyak pegawai KPK yang memiliki semangat untuk memberantas korupsi. Namun, semangat mereka terhambat oleh beberapa hal, seperti perubahan undang-undang dan kondisi kepemimpinan yang kurang kondusif. Hal ini disampaikan Samad dalam program Gaspol! Kompas.com pada Kamis (30/3/2023).
Dikatakannya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah banyak merubah otoritas lembaga antirasuah tersebut. Salah satu perubahan yang penting adalah posisi KPK yang kini berada di bawah eksekutif, sehingga para pegawainya harus berstatus aparatur sipil negara (ASN). Menurut Samad, perubahan status menjadi ASN ini telah menyebabkan banyak pegawai-pegawai berkompeten dan berintegritas yang tersingkir dari KPK karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilaksanakan beberapa tahun lalu.
Samad menambahkan bahwa pada saat ini, masih banyak pegawai KPK yang memiliki semangat untuk memberantas korupsi. Akan tetapi, semangat mereka terhambat oleh perubahan dalam undang-undang dan kepemimpinan yang kurang kondusif. Sebagai contoh, ia mengatakan, “Saya lihat masih banyak yang punya spirit pemberantasan korupsi cuma mungkin agak terhambat, dibatasi oleh pertama undang-undang yang tidak seperti dulu lagi, kemudian dibatasi oleh ruang lingkup kepemimpinan yang tidak kondusif.”
Lebih lanjut, Samad juga menekankan adanya perubahan dalam kode etik KPK yang berdampak pada budaya organisasi di lembaga tersebut. Menurutnya, sebelumnya KPK memiliki kode etik yang sangat ketat, salah satunya adalah pegawai KPK harus membawa air minum sendiri ketika bertugas. Tujuan dari aturan ini adalah agar pegawai KPK tidak menerima tawaran makanan atau minuman dari pihak lain saat bekerja, yang bisa dianggap sebagai bentuk gratifikasi.
Ia menjelaskan, “Bukan karena takut diracun, (tapi) menghindari orang membelikan minuman itu kan sama dengan dijamu, ditraktir, gratifikasi. Karena gratifikasi dalam arti luas itu sampai diskon pun itu termasuk gratifikasi.” Samad mengakui bahwa ketatnya kode etik KPK pada masa itu membuat dirinya merasa terasing, tetapi lama kelamaan hal itu menjadi sesuatu yang biasa. “Memang awalnya begitu tapi karena sudah terbiasa jadi biasa, justru yang tidak jadi biasa kalau kita di zona nyaman,” ucapnya.
Adanya perubahan dalam undang-undang dan kode etik KPK ini tentunya sangat disayangkan. Sebagai lembaga yang memiliki tugas penting untuk memberantas korupsi di Indonesia, KPK seharusnya diberi dukungan yang kuat, baik dari sisi peraturan maupun kepemimpinan. Namun, kenyataannya saat ini justru sebaliknya: banyak kewenangan KPK yang dipreteli dan pegawainya yang berintegritas pun harus menghadapi berbagai hambatan.
Masyarakat tentunya berharap agar KPK dapat kembali menjadi lembaga yang efektif dan efisien dalam memberantas korupsi di Tanah Air, seperti beberapa tahun silam. Diperlukan perubahan positif dari berbagai pihak, seperti pemerintah, DPR, hingga para penyelenggara KPK itu sendiri untuk mengembalikan kejayaan KPK sebagai lembaga antirasuah yang dihormati masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan dan hambatan tersebut, pegawai KPK harus tetap teguh dalam menjaga integritas dan semangat memberantas korupsi. Seperti yang dilakukan Samad di masa kepemimpinannya, para pegawai KPK harus menjaga prinsip-prinsip kode etik yang ketat sebagai benteng dalam menjalankan tugas mereka.
Di saat yang sama, masyarakat harus terus melakukan pengawasan dan mendukung KPK dan seluruh pegawainya yang berjuang untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat, kita perlu bersama-sama berperan serta dalam melawan korupsi, sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang lebih adil, makmur, dan sejahtera untuk semua rakyatnya.
Baca juga: KPK Amankan Uang Rp 1,3 M Saat Geledah Apartemen di Pakubuwono Dalam Kasus Dugaan Korupsi Tukin di ESDM.